RSS
"Learn from the past, live ardently for today, and keep having work for future". Fighting!! ^^

Setetes Embun Cinta Niyala

Novel mini kedua dalam Novel Pudarnya Pesona Cleopatra.

Setetes Embun Cinta Niyala.


Siapakah yang mampu hidup tanpa cinta? Perempuan manakah yang bisa membangun singgasana rumah tangganya tanpa cinta? Ia bertanya pada dirinya sendiri dengan hati pilu. Tak ada! Jawabnya sendiri. Oh, haruskah aku gadaikan hidupku ini? Pasrah tercampak tanpa mimpi mulia seperti pelacur hina yang kalah oleh nafsunya.  Kalau saja surat itu bukan dari ayah. Kalau saja calon yang disebut itu bukan Roger orangnnya. Dadanya sesak, namun ia tetap menekuri kata demi kata surat itu,
…………  “ Ketahuilah Anakku, sampai saat ini pinjaman itu belum mampu ayah lunasi. Total hutang ayah delapan puluh juta.Pak Cosmas masih berbuat baik tidak meminta bunga sama sekali……..
Ketika Pak Cosmoa melamar dirimu pada ayah, beliau bilang jika nanti kau benar-benar jadi isteri Roger, anak bungsunya, maka seluruh hutang itu dianggap lunas. Bahkan ayah dijanjikan akan dihajikan tahun depan bersam beliau. Anakku, perkataan Pak Cosmas itu adalah gerbang kemerdekaan bagi ayah. Maka dengan penuh harap, ayah minta keikhlasan mu memerdekakan ayah mu yang tak berguna ini. Pada hari wisuda mu, insyaallah ayah akan datang bersama kakak mu. Dan pada saat itu pula ayah akan mendengar jawabanmu secara langsung. 

Namun memenuhi isi surat itu dan menerima menjadi isteri Roger tak ada bedanya dengan hidup terhina dan sengsara selamanya. Ia masih ingat, waktu kecil dulu, saat masih duduk dikelas empat SD, bagaimana Roger yang pada saat itu sudah kelas enam SD nyaris menggagahinya dikebun sekolah. Ia nyaris kehilangan kesuciannya. Untung ada penjaga sekolah yang menolong dan menyelamatkannya. Sejak menerima surat dari ayahnya itu, Niyala tidak memiliki semangat hidup. Niyala termenung dikamarnya. Sejak kedatangan surat itu. Ia jarang keluar kamar. Ia merasakan ada tangan lembut mengusap air matanya yang meleleh dipipi. “Ada apa anakku? Kenapa kau menangis? Umi lihat sudah empat hari ini kau tampak sedih dan memendam masalah. Ada yang bisa Umi bantu anakku?”. Suara lembut itu menyadarkan dirinya. Ia tergagap. Ia mencoba tersenyum meskipun bibirnya terasa kaku.  Baginya Umi tak ada bedanya dengan ibu kandungnya. Umi adalah teman ibu kandungnya saat belajar Diniyah Puteri Padang Panjang.  Kata Umi, saat ibu kandungnya sakit keras, diam-diam ibunya nulis surat wasiat kepada Umi. Isinya minta tolong agar jika dirinya meninggal Umi mau mengasuh dan menganggapnya seperti anaknya sendiri. Ia masih ingat saat diterima di Fakultas kedokteran. Umi tidak memiliki uang sepeser pun. Sawah peninggalan mendiang suaminya telah dijual untuk membiayai kuliah Faiq di Mesir. Akhirnya Umi terpaksa meminjam uang ke bank. Sebagian uang pinjaman dari bank digunakan untuk membayar uang kuliahnya selama setahun. Tiga hari lagi wisuda. Dua hari lagi ayahnya akan datang. Ia menghitung sisa hari seperti seorang tahanan yang telah divonis hukuman mati menghitung sis-sisa hidupnya. “Niyala anakku, mau ikut Umi tidak? Kakak mu Faiq pulang”. Mata Niyala berbinar. Sudah tiga tahun ia tidak melihat kakaknya. Terakhir ia melihat saat pulang usai menyelesaikan S1 di Al-Azhar.” Kalian berdua adalah kakak beradik yang harus saling menghargai sejarah masing-masing. Kakakmu harus pulang, menyaksikan adiknya mengenakan toga dan mengawali hidup sebagai seorang dokter. “ Jelas Umi. Kepulangan Faiq memang membuat Umi sangat berbahagia. Anak lelakinya itu benar-benar gagah dan tampan seperti almarhum ayahnya. Senyumnya memikat. Bacaan Alqurannya saat mengimamai sholat maghrib sangat indah dan enak didengar. Usai makan mereka bertiga menuju keruang tamu.”Oh ya lupa, ini Faiq belikan jilbab sutera asli dari Turki.Yang hijau muda untuk Niyala. Dan yang hijau tua untuk Umi”. “Wah, jazakallah kak. Indah sekali.” Nilyala langsung memakai jilbab itu menututpi jilbab putihnya. “Gimana kak? Bagus nggak?”. “Dasar orangnya sudah cantik ditambah dengan jilbab Turki itu, wow luar biasa, dikau tampak seumpama bidadari tururn dari surga Niyala. Wajah Niyala merona mendengar pujiaan kakak angkatnya itu. “Duhai, siapakah gerangan pangeran yang akan menikmati kesejukan cahaya mu.”Duhai alangkah bahaginya dia!”. Sambung Faiq dengan senyum mengembang. Selain itu Faiq membelikan gaun pengantin khas Turki yang sangat indah untuk Niyala. Tiba-tiba telepon berdering. “Masyaallah mi. Ini Pak Rusli, ayahnya Niyala dan Herman kakaknya mau datang. Nanti subuh mereka insayaallah akan sampai di Pulo gadung. “Baguslah kalau begitu. “Malam ini Niyala biar tidur sama Umi. Kau tidur saja di kamar Niyala.” Seloroh Umi sambil melangkah ke kamarnya. Jam dinding menunjukkan pukul setengah satu malam. Air mata Niyala terus mengalir membasahi kedua pipinya. Ia tak bisa memejamkan matanya sedikit pun. Ia tidak tega kalau sampai ayahnya diperkarakan oleh Haji Cosmas dan dipenjarakan. Ia ingin menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Jam beker di kamarnya berdering keras. Lalu mati. Ia mendengar suara derit pintu. Lalu kecipak air. Ia menatap jam dinding. Pukul tiga. Tak lama kemudian ia mendengar suara alunan surat Fatihah dan lantunan ayat-ayat suci Alquran. Suara itu begitu jernih. Fasih. Tartil. Indah. Ah, kak Faiq dalam keadaan lelah dari perjalanan jauh masih juga bangun tengah malam. Alangkah bahagianya dia yang menjadi isterimu. Tiap malam bisa shalat tahajjud bersama. Menangis bersama dihadapan Allah. Lalu anakmu sesekali diajak ikut serta. Rumahmu penuh cahaya Qurani. Alangkah indahnya. Air mata Niyala tiada henti mengalir. Suara Faiq yang merdu dan tartil, menarik Niyala untuk bangkit. Ia berdiri dan melangkah keluar  kamar untuk mengambil wudhu. Lantas mengambil sajadah dan menggelarnya didepan pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Faiq masih berdiri dalam shalatnya. Ia larut dalam tadabbur ayat-ayat yang ia baca. Ia sama sekali tidak tahu bahwa diluar kamar Niyala ikut makmum dan menyimak bacaannya dengan penuh khusyuk. Ia tetap berdiri dan langsung melanjutkan dengan membaca surat Al Furqan. Ayat-demi ayat ia baca. Sesekali terdengar isak tangisnya. Niyala yang makmum dibelakangnya ikut menangis. Sampailah ia pada ayat enam puluh lima dan enam puluh enam (Artinya:” Dan orang-orang yang berkata ‘Ya tuhan kami jauhkan azab jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.”). Ketika sampai pada ayat tujuh puluh empat: (Atrinya: ”Dan orang-orang yang berkata ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dari keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”). Faiq membacanya dengan penuh penghayatan. Niyala yang tahu persis makna ayat yang dibaca Faiq tak ayal terisk-isak sampai nafasnya tersenggal-senggal. Faiq meneruskan bacaannya. Setelah salam ia duduk istirahat. Hatinya tiada henti bertasbih. Ia menghentikan tasbihnya kala daun telinganya mendengar isak tangis di luar kamar. Ia terhenyak melihat Niyala duduk di atas sajadah dengan menutup kedua tangan pada mukanya. Ia terhenyak sesaat, hatinya tersentuh dengan apa yang dilihatnya. Adiknya juga bangun malam dan shalat dibelakangnya. Ia kembali ke tempatnya semula. Selesai bermunajat ia berkata pada adiknya dengan suara halus. “Dik Niya! Masih mau makmum?”. “insyaallah kak”. “Sekarang witir. Dua rakaat lalu satu rakaat!”. Setelah berdoa sesaat. Faiq kembali merebahkan badannya. Sementara Niyala terus menangis diatas sajadahnya. Usai shalat subuh Umi memanggil Faiq dan Niyala untuk berkumpul di ruang tamu. Umi membuka pembicaraan. “Begini. Kau sudah Umi anggap seperti anakku sendiri. Dan kau sudah bisa mengerti apa yang Umi rasa. Aku ingin kau menemani Umi di rumah ini sampai akhir hayat Umi. Kau nanti buka praktek di rumah ini. Kaulah yang Umi harap merawat hari tua Umi. Apakah kau mau Niyala?”. Niyala terhenyak, “insyaallah. Jika Allah menghendaki dan jika kak Faiq mengijinkan.”Aduh Umi. Sudahlah, pokoknya apa yang paling baik menurut Umi, ananda akan patuhi dan ananda penuhi. Niyala bukan orang lain lagi”. Usai sarapan Faiq dan Niyala meluncur dengan naik taksi ke Pulo Gadung. Selama dalam perjalanan ke Pulo Gadung Niyala tidak bisa menahan tangisnya.Sebelum sampai di Pulo Gudaung Niyala mengajak Faiq turun. Faiq pun menurut dengan perasaan bingung. “Niyala, kakak merasa kau sedang menyimpan masalah yang kau tidak kuat menanggungnya. Kau telah menyembunyikan sesuatu dari kakak. Kau menangis sedih tapi kau tidak mau mengakuinya”. Kata-kata Faiq mulai masuk kedalam hati Niyala. Niyala lalu menceritakan perihal surat dari ayahya secara terperinci. Juga tentang Haji Cosmas dan anak makan malam. Dia minta Niyala dan Faiq turut serta. “Apakah masalahnya menyangkut Niyala?”. “Benar Umi. Saya tahu Umi sangat menyayangi dan mencintai Niyala layaknya anak kandung sendiri. Namun dengan berat hati kalau Umi memperbolehkan kami ingin mengajak Niyala pulang ke Sidempuan selepas wisuda”. Mendengar permintaan pak Rusli yang to the point hati Umi bergetar. “Saya tidak bisa menahan atau meminta Niyala untuk harus tinggal disini. Maka yang paling bijaksana menurutku adalah menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Niyala. Niyala diam seribu bahasa. Ia berharap Faiq akan bicara menggantikan dirinya dan membereskan semuanya. Mata Niyala berkaca-kaca. Keringat dinginnya keluar. Kaki kanannyadengan halus menyepak kaki kiri Faiq. Namun Faiq tetap diam tak bergeming da tak bersuara. Ia menurunkan tangan kanannya dan mencubit paha Faiq dengan sekeras-kerasnya. Faiq berdehem. Niyala melepaskan cubitannya. “Begini, ananda berbicara atas nama kemaslahatan dua keluarga. Masalah ini sesungguhnya pernah diutarakan Niyala pada ananda. Namun perlu Pak Rusli, Mas Herman dan Umi ketahui bahwa Niyala telah mencintai seseorang. Dan orang yang ia cintai mungkin juga akan sangat sengsara dan bahkan bisa mati jika tidak memperisteri Niyala. Menurut ananda tindakan yang paling bijak yang diambil oleh Umi dan Pak Rusli adalah menyegerakan pernikahan Adik Niyala dengan orang yang sangat dicintainya. “Anakku Niyala benarkah apa yang dikatakan kakakmu Faiq, siapa dia anakku?”. Niyala tidak menjawab. Ia kembali mencubit paha Faiq. “Apakah Umi bersedia berjanji tidak akan marah?”. “Baiklah Umi berjanji tidak akan marah”. “Nama lengkap lelaki yang dicintai Niyala sejak SMP sampai sekarang adalah Muhammad Faiq bin Saiful Anam”. Semua mata tertuju pada Faiq, termasuk mata Niyala. Niyala sendiri tak habis pikir, kakaknya sampai nekad bersandiwara seperti itu. “Benar Umi. Kami saling mencintai. Aku sangat mencintai dan menyayangi Niyala demikian pula sebaliknya”. Niyala sendiri tidak tahu akhir dari skenario yang dirancang kakaknya itu. “Umi, ananda mohon terimalah kenyataan ini”. ”Apa kalian sudah punya rencana?”. Tanya Umi. Niyala tidak menjawab apa-apa. Sebab ia tidak tahu skenario ini sama sekali. Ia hanya yakin kakaknya sedang berusaha menyelamatkannya.”Alhamdulillah Umi, kami sudah membuat rencana yang matang sekali. Kami akan melangsungkan akad nikah secepatnya”. Hati Niyala tiba-tiba berdesir medengar akad nikah secepatnya. Apakah kakaknya sudah gila? Ia melirik Faiq. Faiq mengerdipkan mata sambil tersenyum. Niyala tidak mengerti. “Dik Niyala, kau sudah mantap kan dengan rencana pernikahan kita. Sudah mantap lahir batin kan dik?”. Hati Niyala bergetar hebat mendengar pertanyaan itu. Ia menatap wajah Faiq dalam-dalam. Ia ingin mencari kepastiaan ini main-main apa sungguhan. Mata Niyala berkaca-kaca, “Apakah ini sungguhan ataukah Cuma sandiwara? Ataukah hanya mimp?”. Tanyanya dengan terisak. “Adikku Niyala, dengarkan baik-baik ya! Kakak bersumpah demi Allah, kakak sungguh –sungguh hendak menikahi mu secepatnya. Kakak tidak mungkin bisa hidup tanpa dirimu disisi kakak. Kakak sangat mencintamu. Kakak ingin kau menjadi isteri kakak, menjadi pendamping kakak mengarungi hidup ini, berlayar menuju ridho ilahi. Apakah kau ragu untuk melangkah kepernikahan, mengarungi hidup ini dengan kakak adikku?” kali ini Faiq menjawab dengan segenap perasaannya. “Adik ikut kakak. Adik sepenuhnya percaya pada kakak”. Pelan Niyala sambil menunduk. Jadi dalam rencana mu kapan akadnya akan dilangsungkan, Anakku?”. Tanya Umi. “Ananda berharap tidak ada yang kaget. Akad nikah kami, akan kami laksanakan malam ini juga!”. “Ini bukan lelucon Anakku!”. Seru Umi. “Ananda serius Umi. Ananda sudah mengontak KUA dan membereskan admistrasinya. Semua sudah ananda persiapkan di Aula Islamic Center, Umi. Setengah jam lagi acaranya akan segera dimulai.” Gaun pengantin khas Turki yang kakak berikan tadi pagi pakailah”. Seru Faiq. Malam itu, akad nikah antara Niyala binti Rusli Hasibuan dengan Muhammad faiq bin Saiful Anam berlangsung dengan penuh khidmat. Faiq memberikan mahar sebuah mushaf cantik yang ia beli di Cairo, uang tunai senilai 85 juta rupiah dan hafalan surat Ar Rahman. Saat Faiq membaca surat Ar Rahman dengan nada penuh penghayatan, keindahan suaranya mampu membuat semua yang hadir menitikkan air mata. Seorang anak TPA berjilbab merah jambu dan berpakaian merah jambu membacakan sebuah puisi berjudul ‘Bidadariku’. Pesan puisi itu tersampaikan dengan dahsyat :
Buah cintaku
Dengan bidadariku
Adalah lahirnya sejuta generasi teladan
Yang menggendong tempayan-tempayan kemanfaatan
Bagi manusia dan kemanusiaan
Pada setiap tempat, pada setiap zaman

Mereka lahir demi kesejatian sebuah pengabdian
Dalam abad-abad yang susah,
Abad-abad tidak mengenal tuhan
Abad-abad hilang naluri kemanusiaan
Abad-abad berkuasa rezim-rezim kemungkaran
Dan mereka tetap kekar dan setia
Membela kebenaran dan keadilan……………….

Catatan kecil

Aku terbangun gara-gara sakit gigi yang mendera ketika kulihat jam di handphone ku menunjukkan pukul 01.45. batinku bergejolak ingin melanjutkan bacaanku yang belum sempat aku selesaikan gara-gara tertidur pulas. Secepat kilat kuambil novel milik kang Abik yang tertindih oleh badan ku sendiri. Aku terhanyut dan terbawa isi novel sampai-sampai sakit gigi yang menderaku tak lagi kurasakan. Novel mini kedua tentang setetes embun cinta Niyala ini, dengan khidmat ku baca halaman per halaman. Tak ayal rasanya hatiku campur aduk. Sedikit-sedikit kurasakan gerimis di sudut mataku. aku terhenyak. Aku rindu pada cinta suci karena ilahi. Seketika kuselesaikan bacaanku. Aku rindu sholat malam yang mungkin sudah berbulan-bulan tak lagi kukerjakan. Aku rindu!. Ketika melakukan shalat malam aku merasa damai, tak pernah kurasakan shalat malam setentram ini. Seketika air mataku bercucuran, yang aku sendiri pun bingung, mengapa sampai begini? Aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Terima kasih kang Abik, berkat novel psikologi islami pembangun jiwa milik mu ini aku ingin melakukan reparasi diri. Terimakasih kang Abik….!

 



 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar